Rabu, 16 Maret 2016

" Api Yang Padam "



" Api Yang Padam "

“Seperti itukah caramu menciptakan sebuah kebahagiaan? Seperti itukah ikatan yang kalian maksudkan? Lalu bagaimana denganku?”
Suara itu kembali terdengar, teriakan, bentakan, semuanya bagai benderang yang dengan mudah menghantam telingaku. Suara pecahan terkadang mewarnai kehebohan itu, otakku langsung dibuat pening olehnya, benda-benda tajam terasa langsung menghantam hatiku. “Berhenti, ku mohon hentikan! Sudah cukup!” Batinku berontak. Sesaat air mata mulai membasahi tulang pipiku, ku rapatkan erat kedua tangan untuk menutupi telingaku, berharap suara itu tak ku dengar sedikit pun, tapi ternyata percuma saja, percuma. Di balik isak tangis, ku coba menahan gejolak jiwa yang mulai memuncak di dada, ingin segera ku muntahkan.

“Kenapa harus selalu bertengkar? Tak bisakah kalian hidup rukun seperti yang lainnya?” Aku semakin merintih.
Aku berlari ke luar menghampiri arah suara itu, ingin ku muntahkan segala kesalku, tapi aku tak mampu. Aku hanya menatap mereka dengan mata sendu, berharap mereka melirikku dan menghentikan aktivitas gila itu. “Ayah, Ibu, aku mohon hentikan! Hentikan!” suaraku ke luar begitu saja, isakku makin jelas terdengar. Tapi mereka tak menggubrisku, aku malah menjadi salah satu topik perdebatan mereka.

“Yang ku sayangi. Ayah dan Ibu. Masa kecil adalah masa terindah yang pernah dimiliki setiap anak, dengan banyak cerita dan ragam permainan kecil mereka. Berjuta kasih sayang dapat mereka rasakan di sana. Ayah, Ibu… terkadang aku merindukan masa-masa itu, masa di mana aku hanya tahu, Ayah dan Ibu benar-benar menyayangiku, memperhatikanku dan selalu mengkhawatirkanku. Seiring berjalannya waktu, dan seiring bertambahnya usiaku, kenapa kalian menjadi tidak bisa realistis memandang kehidupan? Seperti inikah cara kalian menciptakan sebuah keluarga? Menciptakan sebuah kebahagiaan untukku?”

“Tahukah kalian… aku mulai merasa jenuh, aku jenuh mendengar suara teriakan, bentakan, dan kegaduhan yang ada di rumah ini. Dulu, aku selalu merasakan kehangatan saat singgah di sini, selalu dapat ku rasakan api kehangatan yang tak pernah padam singgah di rumah ini. Aku juga mulai bosan, bosan mendengar perkataan kalian yang membicarakan hal-hal yang hanya membawa pertengkaran, tak bisakah kalian bersikap lebih dewasa? Mengertilah, aku bosan!”

“Seandainya bisa ku ulang kembali waktu, ingin aku kembali ke masa-masa dulu, agar aku dapat kembali merasakan api kehangatan itu, api kehangatan yang telah lama padam, telah lama kalian padamkan. Dingin terasa menusuk hingga bagian tulang terdalamku saat aku singgah di rumah ini. Ayah, Ibu maafkan! Tapi, aku bosan, aku bosan mencoba mengembalikan api kehangatan itu, yang nyatanya api itu telah benar-benar padam. Salam hangat, Putrimu.”

Ku biarkan selembar kertas itu tergeletak di atas ranjangku. Ku harap dengan selembar kertas itu mereka bisa mengerti maksudku, yang selama ini tak pernah sanggup aku ucapkan pada mereka. Di malam yang dingin, ku biarkan kaki ini terus melangkah tanpa arah pasti, jalanan yang sepi yang terkadang hanya disinggahi semilir angin yang menyentuh kulitku. Suara gonggongan anjing terdengar begitu menggema di malam yang sunyi itu. “Angin bisakah kalian membawa luka kepedihan dalam hidupku, dan membawakanku sayup-sayup kebahagiaan? Bodoh, bicara apa kau ini!” Batinku semakin tak karuan.

Hingga akhirnya langkahku terhenti di ujung jalan, di dekat sebuah rumah sederhana dengan lampu merah yang masih menyala. Di sana tampak sang anak terlihat sedang bersuka cita dengan sepotong kue yang kemudian ia suapkan kepada ayah dan ibunya, canda tawa terdengar begitu menggema di antaranya. Sang ibu tampak memeluknya dengan hangat, sementara sang ayah masih pasrah dalam senyuman kebahagiaannya. Ku lihat pandangan anak itu beralih menatapku. “Ku rasa usia kita sama.” bisikku menatapnya.
Tapi kemudian pandangannya kembali beralih karena gurauan sang ayah. Aku benar-benar terhanyut dalam kebahagiaan yang keluarga itu rasakan, tanpa terasa air mataku mulai meleleh membasahi tulang pipiku. “Hai siapa pun namamu, kau adalah gadis beruntung, memiliki orangtua yang benar-benar menyayangimu, hidup dalam kehangatan, dan ku lihat api di rumahmu tak pernah padam. Tahukah kau? Ku rasa umur kita sama, hanya saja aku tak mendapat kebahagiaan yang sama seperti apa yang kau dapatkan. Dan apakah kau tahu? Hari ini adalah hari ulang tahunku juga.” Ucap batinku.

Kembali ku langkahkan kaki dalam ketidakpastian. “Ayah, Ibu, aku merindukan kehangatan seperti mereka, aku sangat merindukannya! Aku mohon, jangan pernah biarkan api kehangatan di rumah kita padam! Karena aku akan sangat merindukannya.”

Cerpen Karangan: Margareta Wila


Tidak ada komentar:

Posting Komentar