" Api Yang Padam "

Suara itu kembali terdengar, teriakan, bentakan, semuanya
bagai benderang yang dengan mudah menghantam telingaku. Suara pecahan terkadang
mewarnai kehebohan itu, otakku langsung dibuat pening olehnya, benda-benda
tajam terasa langsung menghantam hatiku. “Berhenti, ku mohon hentikan! Sudah
cukup!” Batinku berontak. Sesaat air mata mulai membasahi tulang pipiku, ku
rapatkan erat kedua tangan untuk menutupi telingaku, berharap suara itu tak ku
dengar sedikit pun, tapi ternyata percuma saja, percuma. Di balik isak tangis,
ku coba menahan gejolak jiwa yang mulai memuncak di dada, ingin segera ku
muntahkan.
“Kenapa harus selalu bertengkar? Tak bisakah kalian hidup
rukun seperti yang lainnya?” Aku semakin merintih.
Aku berlari ke luar menghampiri arah suara itu, ingin ku
muntahkan segala kesalku, tapi aku tak mampu. Aku hanya menatap mereka dengan
mata sendu, berharap mereka melirikku dan menghentikan aktivitas gila itu.
“Ayah, Ibu, aku mohon hentikan! Hentikan!” suaraku ke luar begitu saja, isakku
makin jelas terdengar. Tapi mereka tak menggubrisku, aku malah menjadi salah
satu topik perdebatan mereka.
—
“Yang ku sayangi. Ayah dan Ibu. Masa kecil adalah masa
terindah yang pernah dimiliki setiap anak, dengan banyak cerita dan ragam
permainan kecil mereka. Berjuta kasih sayang dapat mereka rasakan di sana.
Ayah, Ibu… terkadang aku merindukan masa-masa itu, masa di mana aku hanya tahu,
Ayah dan Ibu benar-benar menyayangiku, memperhatikanku dan selalu
mengkhawatirkanku. Seiring berjalannya waktu, dan seiring bertambahnya usiaku,
kenapa kalian menjadi tidak bisa realistis memandang kehidupan? Seperti inikah
cara kalian menciptakan sebuah keluarga? Menciptakan sebuah kebahagiaan
untukku?”
“Tahukah kalian… aku mulai merasa jenuh, aku jenuh mendengar
suara teriakan, bentakan, dan kegaduhan yang ada di rumah ini. Dulu, aku selalu
merasakan kehangatan saat singgah di sini, selalu dapat ku rasakan api
kehangatan yang tak pernah padam singgah di rumah ini. Aku juga mulai bosan,
bosan mendengar perkataan kalian yang membicarakan hal-hal yang hanya membawa
pertengkaran, tak bisakah kalian bersikap lebih dewasa? Mengertilah, aku
bosan!”
“Seandainya bisa ku ulang kembali waktu, ingin aku kembali
ke masa-masa dulu, agar aku dapat kembali merasakan api kehangatan itu, api
kehangatan yang telah lama padam, telah lama kalian padamkan. Dingin terasa
menusuk hingga bagian tulang terdalamku saat aku singgah di rumah ini. Ayah,
Ibu maafkan! Tapi, aku bosan, aku bosan mencoba mengembalikan api kehangatan
itu, yang nyatanya api itu telah benar-benar padam. Salam hangat, Putrimu.”
Ku biarkan selembar kertas itu tergeletak di atas ranjangku.
Ku harap dengan selembar kertas itu mereka bisa mengerti maksudku, yang selama
ini tak pernah sanggup aku ucapkan pada mereka. Di malam yang dingin, ku
biarkan kaki ini terus melangkah tanpa arah pasti, jalanan yang sepi yang
terkadang hanya disinggahi semilir angin yang menyentuh kulitku. Suara
gonggongan anjing terdengar begitu menggema di malam yang sunyi itu. “Angin
bisakah kalian membawa luka kepedihan dalam hidupku, dan membawakanku
sayup-sayup kebahagiaan? Bodoh, bicara apa kau ini!” Batinku semakin tak
karuan.
Hingga akhirnya langkahku terhenti di ujung jalan, di dekat
sebuah rumah sederhana dengan lampu merah yang masih menyala. Di sana tampak
sang anak terlihat sedang bersuka cita dengan sepotong kue yang kemudian ia
suapkan kepada ayah dan ibunya, canda tawa terdengar begitu menggema di
antaranya. Sang ibu tampak memeluknya dengan hangat, sementara sang ayah masih
pasrah dalam senyuman kebahagiaannya. Ku lihat pandangan anak itu beralih
menatapku. “Ku rasa usia kita sama.” bisikku menatapnya.
Tapi kemudian pandangannya kembali beralih karena gurauan
sang ayah. Aku benar-benar terhanyut dalam kebahagiaan yang keluarga itu
rasakan, tanpa terasa air mataku mulai meleleh membasahi tulang pipiku. “Hai
siapa pun namamu, kau adalah gadis beruntung, memiliki orangtua yang
benar-benar menyayangimu, hidup dalam kehangatan, dan ku lihat api di rumahmu
tak pernah padam. Tahukah kau? Ku rasa umur kita sama, hanya saja aku tak
mendapat kebahagiaan yang sama seperti apa yang kau dapatkan. Dan apakah kau
tahu? Hari ini adalah hari ulang tahunku juga.” Ucap batinku.
Kembali ku langkahkan kaki dalam ketidakpastian. “Ayah, Ibu,
aku merindukan kehangatan seperti mereka, aku sangat merindukannya! Aku mohon,
jangan pernah biarkan api kehangatan di rumah kita padam! Karena aku akan
sangat merindukannya.”
Cerpen Karangan: Margareta Wila
Tidak ada komentar:
Posting Komentar