Rabu, 16 Maret 2016

Senyum Sejuta Matahari

" Senyum Sejuta Matahari "


Sosok laki-laki dengan rambut cokelatnya itu memakai baju santai dan sedang duduk di sebuah bangku kayu yang tak lagi terlihat baru. Wajahnya yang -ku akui cukup tampan- itu tetap ceria seperti biasa. Ia sedang menggoreskan sesuatu pada buku sketsa yang selalu dibawanya, tapi aku tak pernah melihat apa isinya. Kini semakin banyak alat tulis berserakan di bangku kayu yang rapuh itu. Sepertinya memang tak ada lagi tempat untukku, ya-memang itu bangku taman yang tentu untuk umum bukan hanya untukku. Rasanya kini aku malas untuk beranjak ke sana, klaim bangku -hanya- milikku itu sudah tak berlaku maka aku pun berbalik.

“Hei, Selamat Sore. Kau tidak berniat untuk pergi kan?”
Hei, jarak pandang kita bahkan lebih dari lima meter tapi mengapa ia dapat melihatku? Seketika langkahku terhenti dan ya aku sudah duduk di samping si periang ini. Tetap diam, aku tak mau mengaku kalah, aku lebih dulu sering berada di bangku ini maka ini tetap (sebagian) milikku maka aku harus mempertahankannya. Aku duduk dan hanya membuka buku usang yang ku bawa, isinya menjelaskan tentang berbagai bunga tapi abaikanlah itu, aku tak benar-benar tertarik soal bunga.

“Kamu suka bunga ya?” tanyanya ingin tahu.
Aku menggeleng, ah aku seperti orang bisu saja. Lalu ia tertawa kecil. Ku lihat ia tengah menggoreskan alat tulisnya pada buku sketsa itu dan.. “Ah, Bunga Matahari!!” aku berbicara dengan nada yang terdengar cukup bersemangat, ku akui itu. Lagi-lagi ia seperti membaca pikiranku.

“Wah ternyata kamu bisa berbicara ya?” ia langsung bereaksi diiringi derai tawanya yang terdengar semakin lama di telingaku.
“Tentu, aku punya mulut kau tahu?” jawabku tak mau kalah.
“Ya, ya nona. Tentu aku tahu.” Kini ia terkekeh.
“Kau menghibur sekali. Jadi, kau suka bunga matahari ya. Tapi tak suka bunga, itu aneh. Namun bunga matahari tetaplah bunga, intinya kau suka bunga, nona.”
Aku menghibur katanya? Sebelumnya ia bilang aku tak berekspresi, aku tak mengerti apa maksudnya. Atau bahkan aku tak harus mengerti, tak perlu. Ini bukan teka-teki.

“Oh, sepertinya aku benar.” Kini ia kembali tersenyum sambil menuangkan inspirasinya pada kertas putih itu. Aku hanya terdiam sambil memandangi cover bunga matahari. Tiba-tiba rasa penasaran menghantuiku, rasanya aku ingin mengintip gambarnya tanpa ketahuan, aku benci derai tawanya. Atau mungkin juga tidak. Perlahan aku menoleh, lagi-lagi aku benci mengakuinya tapi itu benar-benar indah. Aku menahan diri untuk tak berkomentar. Namun ia melihat ke arahku sambil tersenyum, menahan tawa bagaikan berharap aku kalah dan berkomentar. Tak dengarkah kalau aku benci senyummu itu? Oh ya tentu saja, aku tak mengeluarkan suara saat mengungkapkannya.

“Apa?” tanyaku.
“Jangan bertanya balik, aku sedang bertanya padamu.”
Menyebalkan. Aku berbisik pelan, “…Indah.”
“Apa? Aku indah?” Ia tertawa lagi.
“Tidak, tidak. Aku hanya bercanda.”

Biarlah ia bersama tawanya yang tiada hentinya itu, aku tak peduli lagi. Kembali pada buku yang ku bawa.Tiba-tiba semilir angin mulai berhembus dengan cukup kencang. Ini membuatku… “Merasa mengantuk eh? Aku jadi ingat saat aku duduk di bangku ini kau sedang tertidur dan tiba-tiba kau terbangun. Saat aku bertanya kau hanya mengangguk dan menggeleng. Kau tak berekspresi sama sekali. Lalu kau pergi begitu saja.”

“K-kau bisa telepati ya?” tanyaku hati-hati.
“Eh? Begitukah? Ya, tentu. Aku seorang cenayang yang tampan.”
“Ya, terserah kau saja.”
Ia terkekeh lalu ia melemparkan sebuah pertanyaan, “Kau akan datang besok?”
Aku hanya mengangkat kedua tanganku, tanda tak tahu. Lalu, hari itu berakhir begitu saja tapi rasanya menyenangkan.


Para burung tengah berkicau menikmati hari yang cerah, menyanyi bersama, berbincang dengan kawannya -itu yang ada di pikiranku. Anjing dan kucing berlarian ke sana ke mari, derai tawa anak kecil menghiasi pagi ini dan beruntunglah bangku kayu itu masih kosong. Sejak kapan aku mulai memperhatikan suasana sekelilingku? Bahkan aku tak sadar bahwa dunia seceria ini. Ya, sayangnya aku bukan orang yang peduli dengan hal-hal seperti ini. Kali ini aku datang lebih awal dan aku tak menduga ia belum berada di sana. Hei, aku tak bermaksud menunggunya atau mengharapkan ia datang ya! Aku hanya duduk sambil memandangi birunya langit.

Tiba-tiba munculah sosok si periang dari kejauhan berlari dengan cukup kencang, membawa sebuah ransel yang terlihat cukup berat dan kini ia terlihat bodoh, aku hanya tertawa dalam hati-mungkin ia sedang memanggilku. “Hei, hei kauuu!” Tentu saja, kita tak pernah bertanya nama satu sama lain. Suaranya cukup kencang dengan napas yang tersengal-sengal. Orang-orang tengah melihat ke arahnya, memasang wajah penuh tanya, begitu pun denganku. Wajah tampannya tetap terlihat walau dipenuhi peluh keringat.

“Ayo ikut aku. Kita harus berangkat sekarang dan jangan bertanya. Ayo!” tangannya yang agak berkeringat menarik tanganku dengan cepat, aku harus mengikuti langkahnya yang cukup cepat dan kami kini sudah ada di depan bus kota. Tepatnya, bus antarkota. Aku tak sempat melihat tujuannya. Kami duduk di deret kursi terakhir dengan bersebelahan. “Aku tak tahu kau benar-benar tak bertanya saat aku bilang jangan bertanya.” Ia memasang wajah bingung tapi setelahnya diiringi tawa kecilnya.

Aku hanya diam dan melemparkan padanganku ke luar jendela. Jalannya mulai tak beraturan, berkelok-kelok kadang menanjak, tapi tetap lengang. Sepanjang perjalanan aku tak bisa tidur, sekarang matahari mulai meninggi atau mungkin matahari sudah ingin berganti shift dengan bulan tapi sepertinya belum. Sepanjang perjalanan tidak ada pembicaraan bahkan satu kata pun. Lalu tiba-tiba bus ini berhenti di sebuah terminal yang tidak begitu luas. Terlihat pegunungan dari kejauhan, udaranya cukup sejuk.

“Ayo, kita sudah sampai. Perhatikan langkahmu.” Ia mengulurkan tangannya.
“Kau seperti kondekturnya saja.”
“Ada kondektur yang juga seorang cenayang tampan?” tanyanya jahil.
“Kau boleh daftar.”

Lagi-lagi ia tertawa hingga aku hampir malu karena orang melemparkan pandangannya ke arah kami. Ya, tapi sebenarnya aku tak begitu peduli. Kami meneruskan perjalananan -yang ku tak tahu ke mana tujuannya. Setelah turun dari bus kami berjalan perlahan namun tak ada kendaraan umum yang melintas. Tentu, ini kota kecil atau bahkan sudah di tengah desa. Keberuntungan kami belum habis ternyata, sebuah mobil pick up tak sengaja lewat, pemiliknya mengizinkan kami untuk menumpang.

Kami diturunkan di persimpangan jalan yang semakin dekat ke arah pegunungan. Kami mulai berjalan. Berjalan melewati bebatuan, dedaunan kering terhampar di atas tanah, menimbulkan suara renyah saat terinjak. Sinar matahari tak begitu menyentuh permukaan jalan tertahan oleh lebatnya dahan pepohonan -yang ku tahu sedari tadi kami sudah berjalan cukup jauh, aku penasaran tapi tak ingin bertanya.

“Hei, lain kali jangan ikuti orang asing saat ia memintamu mengikutinya -yang bahkan kau tak tahu namanya. Bahkan paling tidak tanyalah sesuatu.” Wajahnya berubah serius dan jujur saja itu tak cocok dengan image-nya. Ah benar juga. Kenapa aku percaya pada si periang ini? Kini aku mulai sedikit terguncang, aku menjadi merasa bodoh. Ah payah! Aku melangkah mundur bersiap untuk kabur.

“Eh, mau kabur ya?” Kini senyumnya mengerikan.
“Tapi itu terlambat, sebentar lagi kita akan sampai dan jangan khawatir aku bukan orang asing aneh kok.” Ia tertawa kecil masih dengan wajah menyebalkannya. Lalu dengan tiba-tiba ia menggenggam tanganku, sambil tersenyum. Lalu meneruskan perkataannya.. “Kalau kau hilang nanti aku yang repot.”
“H-hei, aku bukan anak kecil walau tak tahu jalan, tahu!” jawabku sambil melepaskan genggamannya.

Dari kejauhan sinar matahari menembus pepohonan ini, hembusan angin semakin kencang bahkan rambutku kini berantakan. Dedaunan yang gugur dari tangkainya pun terbawa angin, bagai bertualang. Perlahan mulai tercium aroma yang tak asing, aku menerka-nerka. “Rumput. Wangi rumput.,” bisikku pelan. Laki-laki itu menoleh ke arahku dan seketika ia malah berlari dengan cukup kencang. Menyebalkan, ku pikir ia tadi mengkhawatirkanku.

“Hei, tunggu!!” aku sedikit merungut kesal.
“Ayolah jangan malas!” candanya.

Tiba-tiba langkahnya berhenti. Ia berbalik ke arahku dan tersenyum sambil memejamkan mata cokelatnya. Rambutnya yang terlihat halus mulai terbawa angin, kini wajahnya tampak seperti siluet. Aku baru sadar bahwa ia benar-benar tampan. Tunggu, aku tak boleh bodoh seperti ini. Hei, dia orang yang hanya kau tahu wajahnya, ingat itu diriku! Batinku berlomba-lomba mengadu kebenaran.

“Ini..,” bisikku pelan. Aku tercengang tak percaya. Dan ia mengangguk pelan sambil tertawa kecil. Wajahnya mengisyaratkan ‘Hei kau tahu aku hebat bukan? Ini lebih hebat dari gambarku kan?’ ya-walau hanya perasaanku, mungkin. Lalu ia berkata.. “Ya, kau benar. Indramu masih berfungsi dengan baik. Kau penebak yang hebat ternyata.”

Aku mengabaikan jawabannya, aku tak peduli tapi kini di hadapanku terlihat padang rumput dengan ladang bunga matahari yang bermandikan sinar matahari. Bukannya aku tak pernah melihat bunga matahari. Tapi ini berbeda -mereka berada di alam terbuka, dengan padang rumput dan angin yang kencang, birunya langit dan awan yang berarak mengelilingi bumi. Karena terlalu senang aku sampai berlari kearah ladang bunga matahari itu, sungguh ini indah.

Benar. Lebih indah dari yang ia gambarkan, atau tidak-keduanya sama-sama indah. Hati ku melompat-lompat, dan jantungku berdegup kencang.. Hati ku sedang mencoba menerima bahwa harus sedikit mengaku kalah. Oh tolong, tenanglah diriku! Ku angkat kedua tanganku dan mulai berteriak, “Dasar kau anak aneh! Tapi ini mengagumkan.” Aku melemparkan senyum tipis kepadanya. Kilatan blitz terlihat dari arahnya berdiri. Ah, ia memotretku, menyebalkan. Entah sejak kapan ia telah menggenggam kamera itu. Pasti seluruh isi tasnya yang berhubungan dengan seni, pantas dia aneh dan-mengagumkan. Ya, kata itu pantas untuknya.

“Ya, tak apa. Mungkin aku memang aneh. Atau kita berdua aneh?” jawabnya santai.
“Jangan memotretku!” jawabku sebal.
“Kau manis saat tersenyum. Lebih banyaklah tersenyum, Hana.”
“Hana? Namaku bukan Hana.”
“Hana berarti bunga dalam bahasa Jepang. Dan bunga cantik saat mekar seakan tersenyum. Maka tersenyumlah seperti bunga.”

Wajahku terasa panas, mungkin kini sudah berubah jadi sedikit merah. Menyebalkan. Sebenarnya aku senang tapi benda kenyal dalam kepalaku dan sesuatu yang tak dapat disentuh namun dapat dirasakan selalu bertentangan. “Menyebalkaaaan!!” teriakku kencang. Wajahnya yang tertutup kamera tetap memasang senyumnya yang kini lebih lebar, rambutnya yang tertiup angin sungguh tampak lebih lembut dari rambutku.

“Biarlah, tapi aku senang dan aku tak menyesal mengajakmu.” Bodoh. Aku yang sangat senang karena kau ajak ke sini. Ah, benda kenyal dalam kepalaku terus bertengkar hebat dan tidak mau memerintahkan bibirku untuk terbuka. Ia terus memotret berbagai objek dengan angle yang berbeda di tengah ladang.
“Aku menemukan kumbang! Cepat ke mari,” teriaknya dari tengah ladang bunga. Wajahnya berseri-seri seperti anak kecil yang baru menemukan harta karun, sungguh. Aku tak kuat menahannya aku pun tertawa hebat.

“Kau seperti seorang anak kecil yang menemukan harta karun tahu! Ekspresimu sungguh lucu.” Aku tertawa sambil memegangi perutku hingga aku duduk di antara rerumputan pendek di pinggir ladang, ah rasanya baru kali ini aku tertawa lepas seperti ini. Lalu aku menengok ke arahnya. Posisi tangannya sedikit menutupi wajahnya dan ia berbalik membelakangiku. Aku kaget, ku pikir orang seceria dia tak mungkin berekspresi begitu.

“Kau tersipu malu ya?” aku sedikit menahan tawa.
“Apaaa? Hei! Tidak, kau salah lihat. Ini karena panasnya matahari, ia terlalu bersemangat mencerahkan bunga-bunga ini tahu,” tukasnya dengan masih menutupi wajahnya dengan tangannya. Aku berlari ke arahnya, ia masih berdiri mengarah ke ladang itu. Masih belum menengok ke arahku sama sekali.

“Benarkan kataku, kau ma…” belum menyelesaikan perkataanku, tangannya mendarat menutupi kedua mataku.
“Jangan buka matamu, aku akan meninggalkanmu jika kau membuka matamu sekarang!” suaranya sedikit bergetar dan akan ku pastikan bahwa ia benar-benar si periang yang berubah jadi pemalu. Aku tertawa puas dalam hati. “Hem? Butuh berapa lama, harus menunggu matahari bertukar dengan bulan baru wajahmu tak memerah?” tanyaku meledek dengan sedikit tertawa.

Dengan segera ia melepas tangannya yang tengah menutupi kedua mataku dan bergegas memotret kumbang itu. Ternyata benar, tubuh kumbang itu sedikit mengkilat karena pancaran sinar matahari, bergerak di antara ilalang, rerumputan di ladang itu. Angin berhembus kian sejuk. Tak terasa kami belum memberi makan peliharaan kami dalam perut dan matahari mulai sedikit meredupkan sinarnya bersiap berganti dengan rekan seperjuangannya untuk menyinari bumi. Krucuk..krucuk. Baiklah cacing dalam perutku mulai memanggil dan itu malah membuatnya tertawa cukup keras. Menyebalkan.

“Hey, kau lapar ya?” tanyanya sambil bercanda, harusnya kau tak perlu bertanya. Aku hanya duduk di atas rerumputan yang kemiringannya cukup landai. Suara bungkus makanan kian berbunyi. Tak ku sangka si periang ini menyiapkan segalanya, ia bukan mau berpiknik kan? Kotak makanan yang cukup besar dikeluarkan dari ranselnya bahkan beserta termos minuman dan gelasnya. Tangannya mengulurkan sebuah nasi kepal yang dibungkus rumput laut kering hendak menyuapiku, tunggu.. ini nasi kepal?

“Ayo makan yang banyak! Perutmu terus berbunyi.”
“Hei, aku bukan anak kecil!” Sekeras apa pun aku bilang bahwa aku bukan anak kecil, ia malah tersenyum atau beberapa kali menahan tawa. Menyebalkan. Aku menyambar nasi kepal yang ada dalam kotak makannya. Aku mulai menyantap nasi kepal itu, pada gigitan pertama aku terdiam sejenak.

“Eh, sudah tidak enak ya?” tanyanya memastikan. Aku menggeleng dan meneruskan gigitanku hingga nasi itu habis. Ah mungkin karena aku belum makan apa pun, tapi mungkin ini memang benar-benar enak. “Kau sungguh lapar sekali sepertinya, aku senang kau memakannya.”
“Setidaknya ada makanan,” jawabku dengan mulut yang dipenuhi nasi, pasti pipiku menggembung.Tentu saja, aku kan sedang mengunyah.

Klik… Jepret.

Kilatan blitz muncul lagi dari orang itu, mencoba mendapati wajah jelekku yang sedang makan. Menyebalkan!! Aku berteriak sambil mencoba menelan seluruh makanan yang ada di mulutku, “Heee-hei! jangan memotretku! Aku sedang makan, dasar payah!” Kilatan itu makan semakin banyak, ia semakin cepat menekan tombol potret itu. “Tak apa, itu lucu.” kini ia puas tertawa dan sepertinya ia membalasku.
Sebelum matahari benar-benar ingin berganti shift dengan bulan maka kami bergegas meninggalkan ladang indah itu. Aku berharap suatu hari aku bisa kembali ke sini dengan awan yang sama, ladang yang semakin indah, bunga yang tetap mekar mempesona dan -ya aku berharap dengan orang yang sama.


- Karangan: Syafa’atul Uzhma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar