" Senyum Sejuta Matahari "
Sosok laki-laki dengan rambut cokelatnya itu memakai baju
santai dan sedang duduk di sebuah bangku kayu yang tak lagi terlihat baru.
Wajahnya yang -ku akui cukup tampan- itu tetap ceria seperti biasa. Ia sedang
menggoreskan sesuatu pada buku sketsa yang selalu dibawanya, tapi aku tak
pernah melihat apa isinya. Kini semakin banyak alat tulis berserakan di bangku
kayu yang rapuh itu. Sepertinya memang tak ada lagi tempat untukku, ya-memang itu
bangku taman yang tentu untuk umum bukan hanya untukku. Rasanya kini aku malas
untuk beranjak ke sana, klaim bangku -hanya- milikku itu sudah tak berlaku maka
aku pun berbalik.
“Hei, Selamat Sore. Kau tidak berniat untuk pergi kan?”
Hei, jarak pandang kita bahkan lebih dari lima meter tapi
mengapa ia dapat melihatku? Seketika langkahku terhenti dan ya aku sudah duduk
di samping si periang ini. Tetap diam, aku tak mau mengaku kalah, aku lebih
dulu sering berada di bangku ini maka ini tetap (sebagian) milikku maka aku
harus mempertahankannya. Aku duduk dan hanya membuka buku usang yang ku bawa,
isinya menjelaskan tentang berbagai bunga tapi abaikanlah itu, aku tak
benar-benar tertarik soal bunga.
“Kamu suka bunga ya?” tanyanya ingin tahu.
Aku menggeleng, ah aku seperti orang bisu saja. Lalu ia tertawa kecil. Ku lihat ia tengah menggoreskan alat tulisnya pada buku sketsa itu dan.. “Ah, Bunga Matahari!!” aku berbicara dengan nada yang terdengar cukup bersemangat, ku akui itu. Lagi-lagi ia seperti membaca pikiranku.
Aku menggeleng, ah aku seperti orang bisu saja. Lalu ia tertawa kecil. Ku lihat ia tengah menggoreskan alat tulisnya pada buku sketsa itu dan.. “Ah, Bunga Matahari!!” aku berbicara dengan nada yang terdengar cukup bersemangat, ku akui itu. Lagi-lagi ia seperti membaca pikiranku.
“Wah ternyata kamu bisa berbicara ya?” ia langsung bereaksi
diiringi derai tawanya yang terdengar semakin lama di telingaku.
“Tentu, aku punya mulut kau tahu?” jawabku tak mau kalah.
“Ya, ya nona. Tentu aku tahu.” Kini ia terkekeh.
“Kau menghibur sekali. Jadi, kau suka bunga matahari ya. Tapi tak suka bunga, itu aneh. Namun bunga matahari tetaplah bunga, intinya kau suka bunga, nona.”
Aku menghibur katanya? Sebelumnya ia bilang aku tak berekspresi, aku tak mengerti apa maksudnya. Atau bahkan aku tak harus mengerti, tak perlu. Ini bukan teka-teki.
“Tentu, aku punya mulut kau tahu?” jawabku tak mau kalah.
“Ya, ya nona. Tentu aku tahu.” Kini ia terkekeh.
“Kau menghibur sekali. Jadi, kau suka bunga matahari ya. Tapi tak suka bunga, itu aneh. Namun bunga matahari tetaplah bunga, intinya kau suka bunga, nona.”
Aku menghibur katanya? Sebelumnya ia bilang aku tak berekspresi, aku tak mengerti apa maksudnya. Atau bahkan aku tak harus mengerti, tak perlu. Ini bukan teka-teki.
“Oh, sepertinya aku benar.” Kini ia kembali tersenyum sambil
menuangkan inspirasinya pada kertas putih itu. Aku hanya terdiam sambil
memandangi cover bunga matahari. Tiba-tiba rasa penasaran menghantuiku, rasanya
aku ingin mengintip gambarnya tanpa ketahuan, aku benci derai tawanya. Atau
mungkin juga tidak. Perlahan aku menoleh, lagi-lagi aku benci mengakuinya tapi
itu benar-benar indah. Aku menahan diri untuk tak berkomentar. Namun ia melihat
ke arahku sambil tersenyum, menahan tawa bagaikan berharap aku kalah dan
berkomentar. Tak dengarkah kalau aku benci senyummu itu? Oh ya tentu saja, aku
tak mengeluarkan suara saat mengungkapkannya.
“Apa?” tanyaku.
“Jangan bertanya balik, aku sedang bertanya padamu.”
Menyebalkan. Aku berbisik pelan, “…Indah.”
“Apa? Aku indah?” Ia tertawa lagi.
“Tidak, tidak. Aku hanya bercanda.”
“Jangan bertanya balik, aku sedang bertanya padamu.”
Menyebalkan. Aku berbisik pelan, “…Indah.”
“Apa? Aku indah?” Ia tertawa lagi.
“Tidak, tidak. Aku hanya bercanda.”
Biarlah ia bersama tawanya yang tiada hentinya itu, aku tak
peduli lagi. Kembali pada buku yang ku bawa.Tiba-tiba semilir angin mulai
berhembus dengan cukup kencang. Ini membuatku… “Merasa mengantuk eh? Aku jadi
ingat saat aku duduk di bangku ini kau sedang tertidur dan tiba-tiba kau
terbangun. Saat aku bertanya kau hanya mengangguk dan menggeleng. Kau tak
berekspresi sama sekali. Lalu kau pergi begitu saja.”
“K-kau bisa telepati ya?” tanyaku hati-hati.
“Eh? Begitukah? Ya, tentu. Aku seorang cenayang yang tampan.”
“Ya, terserah kau saja.”
Ia terkekeh lalu ia melemparkan sebuah pertanyaan, “Kau akan datang besok?”
Aku hanya mengangkat kedua tanganku, tanda tak tahu. Lalu, hari itu berakhir begitu saja tapi rasanya menyenangkan.
“Eh? Begitukah? Ya, tentu. Aku seorang cenayang yang tampan.”
“Ya, terserah kau saja.”
Ia terkekeh lalu ia melemparkan sebuah pertanyaan, “Kau akan datang besok?”
Aku hanya mengangkat kedua tanganku, tanda tak tahu. Lalu, hari itu berakhir begitu saja tapi rasanya menyenangkan.
—
Para burung tengah berkicau menikmati hari yang cerah,
menyanyi bersama, berbincang dengan kawannya -itu yang ada di pikiranku. Anjing
dan kucing berlarian ke sana ke mari, derai tawa anak kecil menghiasi pagi ini
dan beruntunglah bangku kayu itu masih kosong. Sejak kapan aku mulai
memperhatikan suasana sekelilingku? Bahkan aku tak sadar bahwa dunia seceria
ini. Ya, sayangnya aku bukan orang yang peduli dengan hal-hal seperti ini. Kali
ini aku datang lebih awal dan aku tak menduga ia belum berada di sana. Hei, aku
tak bermaksud menunggunya atau mengharapkan ia datang ya! Aku hanya duduk
sambil memandangi birunya langit.
Tiba-tiba munculah sosok si periang dari kejauhan berlari
dengan cukup kencang, membawa sebuah ransel yang terlihat cukup berat dan kini
ia terlihat bodoh, aku hanya tertawa dalam hati-mungkin ia sedang memanggilku.
“Hei, hei kauuu!” Tentu saja, kita tak pernah bertanya nama satu sama lain.
Suaranya cukup kencang dengan napas yang tersengal-sengal. Orang-orang tengah
melihat ke arahnya, memasang wajah penuh tanya, begitu pun denganku. Wajah
tampannya tetap terlihat walau dipenuhi peluh keringat.
“Ayo ikut aku. Kita harus berangkat sekarang dan jangan
bertanya. Ayo!” tangannya yang agak berkeringat menarik tanganku dengan cepat,
aku harus mengikuti langkahnya yang cukup cepat dan kami kini sudah ada di
depan bus kota. Tepatnya, bus antarkota. Aku tak sempat melihat tujuannya. Kami
duduk di deret kursi terakhir dengan bersebelahan. “Aku tak tahu kau
benar-benar tak bertanya saat aku bilang jangan bertanya.” Ia memasang wajah
bingung tapi setelahnya diiringi tawa kecilnya.
Aku hanya diam dan melemparkan padanganku ke luar jendela.
Jalannya mulai tak beraturan, berkelok-kelok kadang menanjak, tapi tetap
lengang. Sepanjang perjalanan aku tak bisa tidur, sekarang matahari mulai
meninggi atau mungkin matahari sudah ingin berganti shift dengan bulan tapi
sepertinya belum. Sepanjang perjalanan tidak ada pembicaraan bahkan satu kata
pun. Lalu tiba-tiba bus ini berhenti di sebuah terminal yang tidak begitu luas.
Terlihat pegunungan dari kejauhan, udaranya cukup sejuk.
“Ayo, kita sudah sampai. Perhatikan langkahmu.” Ia
mengulurkan tangannya.
“Kau seperti kondekturnya saja.”
“Ada kondektur yang juga seorang cenayang tampan?” tanyanya jahil.
“Kau boleh daftar.”
“Kau seperti kondekturnya saja.”
“Ada kondektur yang juga seorang cenayang tampan?” tanyanya jahil.
“Kau boleh daftar.”
Lagi-lagi ia tertawa hingga aku hampir malu karena orang
melemparkan pandangannya ke arah kami. Ya, tapi sebenarnya aku tak begitu
peduli. Kami meneruskan perjalananan -yang ku tak tahu ke mana tujuannya.
Setelah turun dari bus kami berjalan perlahan namun tak ada kendaraan umum yang
melintas. Tentu, ini kota kecil atau bahkan sudah di tengah desa. Keberuntungan
kami belum habis ternyata, sebuah mobil pick up tak sengaja lewat, pemiliknya
mengizinkan kami untuk menumpang.
Kami diturunkan di persimpangan jalan yang semakin dekat ke
arah pegunungan. Kami mulai berjalan. Berjalan melewati bebatuan, dedaunan
kering terhampar di atas tanah, menimbulkan suara renyah saat terinjak. Sinar
matahari tak begitu menyentuh permukaan jalan tertahan oleh lebatnya dahan
pepohonan -yang ku tahu sedari tadi kami sudah berjalan cukup jauh, aku
penasaran tapi tak ingin bertanya.
“Hei, lain kali jangan ikuti orang asing saat ia memintamu
mengikutinya -yang bahkan kau tak tahu namanya. Bahkan paling tidak tanyalah
sesuatu.” Wajahnya berubah serius dan jujur saja itu tak cocok dengan
image-nya. Ah benar juga. Kenapa aku percaya pada si periang ini? Kini aku
mulai sedikit terguncang, aku menjadi merasa bodoh. Ah payah! Aku melangkah
mundur bersiap untuk kabur.
“Eh, mau kabur ya?” Kini senyumnya mengerikan.
“Tapi itu terlambat, sebentar lagi kita akan sampai dan jangan khawatir aku bukan orang asing aneh kok.” Ia tertawa kecil masih dengan wajah menyebalkannya. Lalu dengan tiba-tiba ia menggenggam tanganku, sambil tersenyum. Lalu meneruskan perkataannya.. “Kalau kau hilang nanti aku yang repot.”
“H-hei, aku bukan anak kecil walau tak tahu jalan, tahu!” jawabku sambil melepaskan genggamannya.
“Tapi itu terlambat, sebentar lagi kita akan sampai dan jangan khawatir aku bukan orang asing aneh kok.” Ia tertawa kecil masih dengan wajah menyebalkannya. Lalu dengan tiba-tiba ia menggenggam tanganku, sambil tersenyum. Lalu meneruskan perkataannya.. “Kalau kau hilang nanti aku yang repot.”
“H-hei, aku bukan anak kecil walau tak tahu jalan, tahu!” jawabku sambil melepaskan genggamannya.
Dari kejauhan sinar matahari menembus pepohonan ini,
hembusan angin semakin kencang bahkan rambutku kini berantakan. Dedaunan yang
gugur dari tangkainya pun terbawa angin, bagai bertualang. Perlahan mulai
tercium aroma yang tak asing, aku menerka-nerka. “Rumput. Wangi rumput.,”
bisikku pelan. Laki-laki itu menoleh ke arahku dan seketika ia malah berlari
dengan cukup kencang. Menyebalkan, ku pikir ia tadi mengkhawatirkanku.
“Hei, tunggu!!” aku sedikit merungut kesal.
“Ayolah jangan malas!” candanya.
“Ayolah jangan malas!” candanya.
Tiba-tiba langkahnya berhenti. Ia berbalik ke arahku dan
tersenyum sambil memejamkan mata cokelatnya. Rambutnya yang terlihat halus
mulai terbawa angin, kini wajahnya tampak seperti siluet. Aku baru sadar bahwa
ia benar-benar tampan. Tunggu, aku tak boleh bodoh seperti ini. Hei, dia orang
yang hanya kau tahu wajahnya, ingat itu diriku! Batinku berlomba-lomba mengadu
kebenaran.
“Ini..,” bisikku pelan. Aku tercengang tak percaya. Dan ia
mengangguk pelan sambil tertawa kecil. Wajahnya mengisyaratkan ‘Hei kau tahu
aku hebat bukan? Ini lebih hebat dari gambarku kan?’ ya-walau hanya perasaanku,
mungkin. Lalu ia berkata.. “Ya, kau benar. Indramu masih berfungsi dengan baik.
Kau penebak yang hebat ternyata.”
Aku mengabaikan jawabannya, aku tak peduli tapi kini di
hadapanku terlihat padang rumput dengan ladang bunga matahari yang bermandikan
sinar matahari. Bukannya aku tak pernah melihat bunga matahari. Tapi ini
berbeda -mereka berada di alam terbuka, dengan padang rumput dan angin yang
kencang, birunya langit dan awan yang berarak mengelilingi bumi. Karena terlalu
senang aku sampai berlari kearah ladang bunga matahari itu, sungguh ini indah.
Benar. Lebih indah dari yang ia gambarkan, atau
tidak-keduanya sama-sama indah. Hati ku melompat-lompat, dan jantungku berdegup
kencang.. Hati ku sedang mencoba menerima bahwa harus sedikit mengaku kalah. Oh
tolong, tenanglah diriku! Ku angkat kedua tanganku dan mulai berteriak, “Dasar
kau anak aneh! Tapi ini mengagumkan.” Aku melemparkan senyum tipis kepadanya.
Kilatan blitz terlihat dari arahnya berdiri. Ah, ia memotretku, menyebalkan.
Entah sejak kapan ia telah menggenggam kamera itu. Pasti seluruh isi tasnya
yang berhubungan dengan seni, pantas dia aneh dan-mengagumkan. Ya, kata itu
pantas untuknya.
“Ya, tak apa. Mungkin aku memang aneh. Atau kita berdua
aneh?” jawabnya santai.
“Jangan memotretku!” jawabku sebal.
“Kau manis saat tersenyum. Lebih banyaklah tersenyum, Hana.”
“Hana? Namaku bukan Hana.”
“Hana berarti bunga dalam bahasa Jepang. Dan bunga cantik saat mekar seakan tersenyum. Maka tersenyumlah seperti bunga.”
“Jangan memotretku!” jawabku sebal.
“Kau manis saat tersenyum. Lebih banyaklah tersenyum, Hana.”
“Hana? Namaku bukan Hana.”
“Hana berarti bunga dalam bahasa Jepang. Dan bunga cantik saat mekar seakan tersenyum. Maka tersenyumlah seperti bunga.”
Wajahku terasa panas, mungkin kini sudah berubah jadi
sedikit merah. Menyebalkan. Sebenarnya aku senang tapi benda kenyal dalam
kepalaku dan sesuatu yang tak dapat disentuh namun dapat dirasakan selalu
bertentangan. “Menyebalkaaaan!!” teriakku kencang. Wajahnya yang tertutup
kamera tetap memasang senyumnya yang kini lebih lebar, rambutnya yang tertiup
angin sungguh tampak lebih lembut dari rambutku.
“Biarlah, tapi aku senang dan aku tak menyesal mengajakmu.”
Bodoh. Aku yang sangat senang karena kau ajak ke sini. Ah, benda kenyal dalam
kepalaku terus bertengkar hebat dan tidak mau memerintahkan bibirku untuk
terbuka. Ia terus memotret berbagai objek dengan angle yang berbeda di tengah
ladang.
“Aku menemukan kumbang! Cepat ke mari,” teriaknya dari tengah ladang bunga. Wajahnya berseri-seri seperti anak kecil yang baru menemukan harta karun, sungguh. Aku tak kuat menahannya aku pun tertawa hebat.
“Aku menemukan kumbang! Cepat ke mari,” teriaknya dari tengah ladang bunga. Wajahnya berseri-seri seperti anak kecil yang baru menemukan harta karun, sungguh. Aku tak kuat menahannya aku pun tertawa hebat.
“Kau seperti seorang anak kecil yang menemukan harta karun
tahu! Ekspresimu sungguh lucu.” Aku tertawa sambil memegangi perutku hingga aku
duduk di antara rerumputan pendek di pinggir ladang, ah rasanya baru kali ini
aku tertawa lepas seperti ini. Lalu aku menengok ke arahnya. Posisi tangannya
sedikit menutupi wajahnya dan ia berbalik membelakangiku. Aku kaget, ku pikir
orang seceria dia tak mungkin berekspresi begitu.
“Kau tersipu malu ya?” aku sedikit menahan tawa.
“Apaaa? Hei! Tidak, kau salah lihat. Ini karena panasnya matahari, ia terlalu bersemangat mencerahkan bunga-bunga ini tahu,” tukasnya dengan masih menutupi wajahnya dengan tangannya. Aku berlari ke arahnya, ia masih berdiri mengarah ke ladang itu. Masih belum menengok ke arahku sama sekali.
“Apaaa? Hei! Tidak, kau salah lihat. Ini karena panasnya matahari, ia terlalu bersemangat mencerahkan bunga-bunga ini tahu,” tukasnya dengan masih menutupi wajahnya dengan tangannya. Aku berlari ke arahnya, ia masih berdiri mengarah ke ladang itu. Masih belum menengok ke arahku sama sekali.
“Benarkan kataku, kau ma…” belum menyelesaikan perkataanku,
tangannya mendarat menutupi kedua mataku.
“Jangan buka matamu, aku akan meninggalkanmu jika kau membuka matamu sekarang!” suaranya sedikit bergetar dan akan ku pastikan bahwa ia benar-benar si periang yang berubah jadi pemalu. Aku tertawa puas dalam hati. “Hem? Butuh berapa lama, harus menunggu matahari bertukar dengan bulan baru wajahmu tak memerah?” tanyaku meledek dengan sedikit tertawa.
“Jangan buka matamu, aku akan meninggalkanmu jika kau membuka matamu sekarang!” suaranya sedikit bergetar dan akan ku pastikan bahwa ia benar-benar si periang yang berubah jadi pemalu. Aku tertawa puas dalam hati. “Hem? Butuh berapa lama, harus menunggu matahari bertukar dengan bulan baru wajahmu tak memerah?” tanyaku meledek dengan sedikit tertawa.
Dengan segera ia melepas tangannya yang tengah menutupi
kedua mataku dan bergegas memotret kumbang itu. Ternyata benar, tubuh kumbang
itu sedikit mengkilat karena pancaran sinar matahari, bergerak di antara
ilalang, rerumputan di ladang itu. Angin berhembus kian sejuk. Tak terasa kami
belum memberi makan peliharaan kami dalam perut dan matahari mulai sedikit
meredupkan sinarnya bersiap berganti dengan rekan seperjuangannya untuk
menyinari bumi. Krucuk..krucuk. Baiklah cacing dalam perutku mulai memanggil
dan itu malah membuatnya tertawa cukup keras. Menyebalkan.
“Hey, kau lapar ya?” tanyanya sambil bercanda, harusnya kau
tak perlu bertanya. Aku hanya duduk di atas rerumputan yang kemiringannya cukup
landai. Suara bungkus makanan kian berbunyi. Tak ku sangka si periang ini
menyiapkan segalanya, ia bukan mau berpiknik kan? Kotak makanan yang cukup
besar dikeluarkan dari ranselnya bahkan beserta termos minuman dan gelasnya.
Tangannya mengulurkan sebuah nasi kepal yang dibungkus rumput laut kering
hendak menyuapiku, tunggu.. ini nasi kepal?
“Ayo makan yang banyak! Perutmu terus berbunyi.”
“Hei, aku bukan anak kecil!” Sekeras apa pun aku bilang bahwa aku bukan anak kecil, ia malah tersenyum atau beberapa kali menahan tawa. Menyebalkan. Aku menyambar nasi kepal yang ada dalam kotak makannya. Aku mulai menyantap nasi kepal itu, pada gigitan pertama aku terdiam sejenak.
“Hei, aku bukan anak kecil!” Sekeras apa pun aku bilang bahwa aku bukan anak kecil, ia malah tersenyum atau beberapa kali menahan tawa. Menyebalkan. Aku menyambar nasi kepal yang ada dalam kotak makannya. Aku mulai menyantap nasi kepal itu, pada gigitan pertama aku terdiam sejenak.
“Eh, sudah tidak enak ya?” tanyanya memastikan. Aku menggeleng
dan meneruskan gigitanku hingga nasi itu habis. Ah mungkin karena aku belum
makan apa pun, tapi mungkin ini memang benar-benar enak. “Kau sungguh lapar
sekali sepertinya, aku senang kau memakannya.”
“Setidaknya ada makanan,” jawabku dengan mulut yang dipenuhi nasi, pasti pipiku menggembung.Tentu saja, aku kan sedang mengunyah.
“Setidaknya ada makanan,” jawabku dengan mulut yang dipenuhi nasi, pasti pipiku menggembung.Tentu saja, aku kan sedang mengunyah.
Klik… Jepret.
Kilatan blitz muncul lagi dari orang itu, mencoba mendapati
wajah jelekku yang sedang makan. Menyebalkan!! Aku berteriak sambil mencoba
menelan seluruh makanan yang ada di mulutku, “Heee-hei! jangan memotretku! Aku
sedang makan, dasar payah!” Kilatan itu makan semakin banyak, ia semakin cepat
menekan tombol potret itu. “Tak apa, itu lucu.” kini ia puas tertawa dan
sepertinya ia membalasku.
Sebelum matahari benar-benar ingin berganti shift dengan
bulan maka kami bergegas meninggalkan ladang indah itu. Aku berharap suatu hari
aku bisa kembali ke sini dengan awan yang sama, ladang yang semakin indah,
bunga yang tetap mekar mempesona dan -ya aku berharap dengan orang yang sama.
- Karangan: Syafa’atul Uzhma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar